
Sangatta – Di balik senyum polos anak-anak Kutai Timur (Kutim), sebagian di antaranya harus menghadapi kenyataan menjadi dewasa sebelum waktunya. Berdasarkan data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) 2024, Kutim mencatat 47 kasus pernikahan dini, menempatkannya di peringkat ketiga tertinggi di Kalimantan Timur (Kaltim). Dari jumlah itu, 35 merupakan anak perempuan dan 12 anak laki-laki.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kutim, Idham Cholid, mengungkapkan, sepanjang 2024 sebenarnya terdapat 111 permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke pengadilan agama. Namun, tidak semua permohonan disetujui setelah melalui proses kajian bersama.
“Kami bekerja sama dengan pengadilan agama. Sebelum diputuskan, setiap permohonan dikaji bersama agar benar-benar sesuai dengan pertimbangan yang matang,” jelas Idham.
Beragam langkah pencegahan terus digencarkan. DPPPA Kutim rutin menggelar edukasi dan sosialisasi parenting keluarga dengan materi seputar bahaya pernikahan anak dari sisi kesehatan, psikologis, hingga dampak sosial.
Menurut Idham, dua faktor paling dominan penyebab maraknya pernikahan dini di Kutim adalah tekanan ekonomi keluarga dan kehamilan di luar nikah. “Rata-rata karena tidak sekolah, lalu dinikahkan. Sebagian lagi karena ‘kecelakaan’, sudah hamil duluan, jadi orang tua ajukan dispensasi,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kasus pernikahan anak terjadi hampir di seluruh wilayah Kutim. Di pedesaan, umumnya disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, sedangkan di kawasan perkotaan, banyak yang dipicu oleh kehamilan tidak direncanakan.
DPPPA Kutim menegaskan komitmennya untuk terus menekan angka pernikahan anak melalui kolaborasi lintas sektor, melibatkan lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan aparat hukum.
“Kami ingin membangun kesadaran bersama bahwa anak harus sekolah, didampingi, dan dilindungi, bukan dikorbankan karena tekanan ekonomi,” pungkas Idham. (ADV)