Melalui rapat koordinasi di Muara Ancalong, Wabup Kutim menginisiasi perbaikan jalan rusak tanpa menunggu dana pemerintah. Ia menegaskan, tanggung jawab sosial perusahaan harus diwujudkan dalam tindakan nyata bagi masyarakat sekitar tambang.
MUARA ANCALONG — Akses jalan rusak di pedalaman Kutai Timur (Kutim), khususnya di kawasan Muara Bengkal dan sekitarnya, akhirnya mendapat titik terang. Dalam rapat koordinasi yang digelar di Kantor Kecamatan Muara Ancalong, Wakil Bupati Kutim H Mahyunadi memimpin langsung pertemuan antara pemerintah kecamatan, perusahaan, dan perwakilan masyarakat. Hasilnya, disepakati perbaikan jalan akan segera dilakukan melalui kerja sama lintas pihak tanpa harus menunggu anggaran dari pemerintah daerah.
Mahyunadi menegaskan bahwa kontribusi perusahaan melalui program tanggung jawab sosial (CSR) adalah bentuk nyata kepedulian terhadap masyarakat di sekitar wilayah operasinya. Ia menekankan, pelaksanaan CSR bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga diatur secara hukum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.
“Perusahaan wajib memberikan manfaat bagi masyarakat. Tidak perlu menunggu sanksi atau teguran. Ini bentuk tanggung jawab bersama,” ujar Mahyunadi dalam rapat yang juga dihadiri Camat Muara Bengkal Norhadi, Kabid Bina Marga Dinas PUPR Wahasuna Aqla, para kepala desa, serta tokoh masyarakat.
Dalam pertemuan itu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar Muara Bengkal sepakat untuk segera memperbaiki jalan rusak di Desa Senambah dan beberapa titik lainnya yang menjadi jalur vital distribusi barang dan mobilitas warga. Alat berat dan material akan dikerahkan secara gotong royong, sementara koordinasi teknis dilakukan oleh pemerintah kecamatan.
“Saya apresiasi semangatnya. Tanpa debat panjang, semua sepakat untuk turun tangan bersama memperbaiki jalan. Ini bukti bahwa kerja sama bisa berjalan jika semua pihak punya komitmen,” kata Mahyunadi.
Ruas jalan yang dibahas dalam rapat itu selama ini menjadi keluhan utama masyarakat karena kondisinya berlubang dan licin ketika hujan, membuat distribusi hasil pertanian terhambat dan biaya transportasi meningkat. Dengan perbaikan yang akan dimulai dalam waktu dekat, diharapkan mobilitas warga dan aktivitas ekonomi dapat kembali lancar.
Lebih dari sekadar memperbaiki jalan, kesepakatan tersebut juga menandai perubahan pola pikir terhadap pelaksanaan CSR. Mahyunadi menilai, program tanggung jawab sosial tidak boleh hanya dilihat sebagai kewajiban administratif, melainkan bentuk kemitraan jangka panjang antara dunia usaha dan masyarakat.
“CSR bukan soal seberapa besar dana yang dikeluarkan, tapi soal niat dan komitmen untuk berbuat baik. Kalau setiap perusahaan mengalokasikan sebagian kecil hasilnya, dampaknya akan besar bagi masyarakat,” tegasnya.
Mahyunadi berharap model kolaborasi seperti ini bisa diterapkan di wilayah lain di Kutim. Dengan kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, pembangunan infrastruktur dasar di daerah pedalaman dapat berjalan lebih cepat tanpa selalu bergantung pada anggaran daerah. (ADV/ProkopimKutim/D)