
Kutai Timur – Angka stunting di Kabupaten Kutai Timur terus menurun. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) terbaru, tingkat stunting Kutim turun dari 29 persen menjadi 26 persen. Dari total tersebut, 6,3 persen masuk kategori gizi sangat buruk atau seperlay, sedangkan sisanya sekitar 20 persen merupakan stunting umum.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kutim, Achmad Junaidi, mengatakan penurunan ini merupakan hasil kerja sama lintas sektor antara pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, serta peran aktif masyarakat melalui Posyandu dan PLKB. “Kita bersyukur angka stunting menurun 2 hingga 3 persen. Target kita tahun depan dua digit, minimal 24 persen,” ujarnya.
Menurutnya, penanganan stunting tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Kolaborasi menjadi kunci dalam mengintervensi keluarga berisiko stunting (KRS). Berdasarkan data, Kecamatan Sangatta Utara tercatat memiliki jumlah keluarga berisiko tertinggi, sekitar 3.800 keluarga, disusul Kecamatan Bengalon. “Siapa pun yang tinggal lebih dari enam bulan di Kutim tetap harus didata dan dilayani tanpa diskriminasi,” tegasnya.
Junaidi menjelaskan, faktor risiko stunting umumnya disebabkan oleh pasangan usia subur dengan kondisi 4T — terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak anak. Selain itu, sanitasi tidak layak dan keterbatasan air bersih juga menjadi penyebab utama.
Untuk menekan angka tersebut, Pemkab Kutim menjalankan program Seribu Rumah Layak Huni dan edukasi penggunaan KB modern bagi keluarga berisiko. “Dengan kolaborasi yang solid, saya yakin Kutim bisa menurunkan angka stunting lebih cepat,” pungkasnya. (ADV)