SANGATTA – Pelajar harus menjadi garda depan pelestarian budaya. Demikian dikatakan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutai Timur, Padliyansyah, saat membuka Rembuk Budaya yang digelar OSIS SMA Prima YPPSB di Sangatta. Ajakan itu menggaungkan komitmen baru di kalangan siswa untuk menjaga warisan Kutai dan Dayak di tengah dominasi budaya populer atau pop culture.
Digelar di Rumah Jabatan Bupati Kutim, Bukit Pelangi, Sangatta, kegiatan ini menjadi ruang dialog dan praktik budaya yang melibatkan ratusan siswa dari 10 SMP dan SMA di Sangatta. Di era ketika bahasa daerah makin jarang digunakan dan tradisi lisan mulai memudar, forum ini tampil sebagai bentuk kebangkitan kesadaran generasi muda.
Padliyansyah menegaskan bahwa pelibatan ruang publik pemerintah menunjukkan dukungan terhadap amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Menurutnya, pelestarian tidak cukup berhenti pada dokumentasi, tetapi harus melibatkan proses belajar lintas generasi.
“Anak muda tidak hanya memahami nilai budaya, tapi menghidupkannya dalam keseharian,” ujarnya.
Sesi pertama dalam Rembuk Budaya menghadirkan pembahasan tentang aksara dan bahasa Kutai. Encek Abdul Gaffar, tokoh adat, bersama penulis dan pendidik Nisma Mawardah, mengajak peserta melihat bahasa bukan hanya sebagai medium komunikasi, tetapi identitas kolektif masyarakat Kutai. Mereka memantik diskusi mengenai urgensi regenerasi penutur bahasa daerah dan tantangan yang muncul akibat dominasi budaya digital.
Para siswa kemudian mempraktikkan interpretasi lagu Kutai, menulis puisi pendek, serta membuat poster kampanye pelestarian bahasa. Aktivitas kreatif ini dirancang agar mereka memahami bahwa kebudayaan dapat hidup melalui karya yang dekat dengan keseharian.
Sesi kedua berfokus pada kearifan lokal Dayak, menghadirkan Indra Bengeh, Kepala Adat Besar Dayak Kalimantan Timur-Kalimantan Utara. Ia memperkenalkan nilai dasar masyarakat Dayak berupa keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur, yang selama ini membentuk harmoni sosial di pedalaman Kalimantan.
Melalui simulasi ritual adat seperti upacara pernikahan dan ritual tolak bala, siswa diperkenalkan pada simbol-simbol yang memuat ajaran moral, penghormatan terhadap alam, dan solidaritas komunitas. Praktik ini memberi pengalaman langsung tentang kedalaman filosofi Dayak yang tidak hanya bersifat seremonial, melainkan sistem pengetahuan yang diturunkan lintas generasi. (ADV/ProkopimKutim/D)